Selasa, 09 Juli 2013

Imam Masjid Al Aqsa: Yusuf Qaradawi Pengkhianat dan Pembohong


Abu Arafa menambahkan, "Bagaimana mungkin pintu-pintu surga terbuka di Damaskus, kami tetangga Suriah. Di Palestina, Gaza dan Baitul Maqdis kami dijajah dan tidak ada seorangpun yang pernah mengeluarkan fatwa jihad di wilayah ini baik secara lisan maupun praktek." _____________________________________ Imam Masjid Al Aqsa, Palestina menyebut Mufti Qatar pengkhianat dan pembohong karena telah mengeluarkan fatwa-fatwa jihad di Suriah. Stasiun TV Alalam (11/6) melaporkan, Syeikh Salahuddin bin Ibrahim Abu Arafa dalam mereaksi fatwa terbaru Yusuf Al Qaradawi, Mufti Qatar mengatakan, "Jika apa yang diucapkannya benar, masalah jihad dan pembebasan Palestina semestinya menjadi prioritas dalam fatwa-fatwanya." Surat kabar Al Ahram menulis, "Pengikut satu agama, satu sama lain tidak akan berjihad." Abu Arafa menambahkan, "Bagaimana mungkin pintu-pintu surga terbuka di Damaskus, kami tetangga Suriah. Di Palestina, Gaza dan Baitul Maqdis kami dijajah dan tidak ada seorangpun yang pernah mengeluarkan fatwa jihad di wilayah ini baik secara lisan maupun praktek." Menurut Abu Arafa, jika mereka benar, masalah Palestina seharusnya menjadi prioritas dalam seruannya. "Baitul Maqdis dijajah sejak 60 tahun lalu, selama ini kemana mereka dan kenapa mereka tidak mengirim pasukan seperti ke Suriah, dan kenapa mereka tidak membentuk pasukan untuk Palestina," tegasnya. Lebih lanjut Abu Arafa menjelaskan, "Kelompok-kelompok yang menggunakan nama agama di Suriah sebenarnya sangat jauh dari agama. Pasalnya, setiap orang yang mengibarkan bendera Islam untuk menumpahkan darah sesama Muslim dan atau menjarah harta mereka, siapapun dia adalah pengkhianat dan pembohong." Umat Islam, katanya, bersatu dan satu agama, kitab suci juga satu Nabi. Orang-orang yang menginginkan perpecahan dalam agama ini, atau mengangkat senjata untuk itu , bukan bagian dari umat ini. Nabi Muhammad Saw bersabda, "Janganlah menjadi kafir setelahku dan jangan saling membunuh satu sama lain." Abu Arafa mengaku sampai kapanpun tidak akan pernah jera untuk menyampaikan kebenaran dan mendukung teman juga sahabat-sahabatnya. Ia mengharapkan keamanan dan perdamaian untuk Suriah dan berdoa agar musuh-musuh kalah. Baru-baru ini, Yusuf Qaradawi dalam khutbah Jumatnya di Doha, Qatar menyebut komunitas Alawi Suriah, Nasiri dan mengklaim, "Alawi lebih kafir dari Yahudi dan Kristen." Mufti Qatar menyeru seluruh Muslimin di seluruh penjuru dunia untuk membantu pemberontak bersenjata asing di kota Al Qusayr, Suriah dan berperang dengan Hizbullah. Statemen keras yang menyerang Suriah terus dikeluarkan Mufti Qatar itu padahal ia tidak pernah sekalipun memprotes kejahatan rezim Israel terhadap rakyat Palestina dan Lebanon. Bahkan baru-baru ini ia menepis kekhawatiran Amerika Serikat terkait Israel bahwa pemberontak Suriah tidak berbahaya bagi rezim penjajah itu Sumber: indonesian.irib.ir

Konspirasi Wahabi, Zionis & Barat di Suriah

Media barat serta saudara sepupunya media salafi wahabi getol membikin opini “si pembunuh” terhadap Bashaar al-Asaad, Presiden Suriah. Bahkan, untuk kasus Libya dan Syria, justru Al Jazeera (media yang sering dicitrakan sebagai media non-Barat), malah menjadi ujung tombak untuk menggalang opini dunia agar AS diberi hak untuk melakukan ‘humanitarian intervention’: menyerbu Libya dan Syria, menggulingkan Qaddafi dan As’ad, dan mengganti keduanya dengan pemimpin yang bisa ‘diatur’ Siapa Bashaar al-Assaad ? Asad adalah satu-satunya pemimpin Arab yang hingga hari ini tetap teguh menolak berdamai dengan Israel, Asad bahkan membantu Hizbullah untuk melawan invasi Israel ke Lebanon selatan, bahkan Asad menyediakan perlindungan bagi aktivis-aktivis top Hamas. Syiria – Asad adalah ‘ayah’ bagi jutaan pengungsi Palestina dan Irak. Sejak 63 tahun yang lalu, Syria adalah tempat berlindung bagi orang-orang Palestina yang terusir dari tanah air mereka sendiri. Syria bahkan menjadi markas perjuangan Hamas untuk membebaskan Palestina dari penjajahan Israel. Kondisi 500.000 pengungsi Palestina di Syria jauh lebih baik daripada kondisi pengungsi Palestina di Lebanon atau Jordan. Para pengungsi itu mendapat layanan kesehatan dan perumahan yang sama sebagaimana rakyat Syria. Lebih dari itu, perang Irak pun membawa dampak membanjirnya pengungsi ke Syria. AS yang konon datang ke Irak untuk menyelamatkan rakyat Irak, justru telah menyebabkan 1,5 juta warga Irak terpaksa mengungsi, menjauhkan diri dari berbagai aksi kekerasan di Irak. Bagi Syria yang berpenduduk 18 juta jiwa itu, kedatangan 2000 pengungsi per hari (data tahun 2007) , jelas memerlukan sebuah kelapangan hati yang luar biasa. Bandingkan dengan Mesir era Mubarak yang dengan bengis menutup pintu perbatasan Rafah, menghalangi pengungsi Palestina, yang sekarat sekalipun, untuk mendapatkan pertolongan. Menurut UNHCR, kedatangan pengungsi dalam jumlah sangat besar itu menambah berat beban Syria karena mereka diberi layanan sebagaimana warga Syria: pendidikan, kesehatan, rumah, dan subsidi minyak. Tak heran bila Syria disebut sebagai negara yang terbaik di kawasan Timur Tengah dalam memberikan layanan sosial dan ekonomi bagi para pengungsi. Dan kini, AS dan sekutu-sekutunya berupaya menggulingkan Assad dengan alasan demokrasi. Namun, alasan sesungguhnya adalah jelas: Asad adalah satu-satunya pemimpin Arab yang hingga hari ini tetap teguh menolak berdamai dengan Israel, Asad bahkan membantu Hizbullah untuk melawan invasi Israel ke Lebanon selatan, bahkan Asad menyediakan perlindungan bagi aktivis-aktivis top Hamas. Bagi Israel, Asad adalah duri dalam daging. Dan kepada AS-lah Israel meminta bantuan untuk menyingkirkan Asad. AS, lagi-lagi, menggunakan cara lama, membiayai dan mempersenjatai kelompok-kelompok oposan di Syria untuk melawan Asad. Media pun digunakan untuk membesar-besarkan demo di Syria (bahkan dengan cara curang sekalipun, dengan menggunakan kamuflase gambar- gambar dan video). Terungkapnya Jati Diri Para Aktor di Syria Konflik di Syria telah memasuki fase baru. Bila sebelumnya kaum oposisi ‘berjuang’ di bawah bendera Syrian National Council dan Free Syrian Army (FSA), kini masing-masing faksi di dalamnya mulai berpecah dan menampakkan ideologinya masing-masing. SNC dan FSA dibentuk di Turki. Di dalam FSA bernaung sebagian besar milisi (sebagian pihak menyebutnya ‘mujahidin’), termasuk Al Qaida. Mereka menjadikan Sheikh Adnan Al-Arour yang tinggal di Arab Saudi sebagai pemimpin spiritual. Dalam salah satu pidatonya yang bisa dilihat di You Tube, Al Arour menjanjikan bahwa bila pasukan mujahidin menang, kaum Alawi akan ‘dicincang seperti daging anjing’. Kaum muslim ‘moderat’, dipimpin oleh Ikhwanul Muslimin, memilih untuk bergabung dalam National Coalition for Syrian Revolutionary and Opposition Forces yang baru dibentuk bulan November lalu di Doha, Qatar. Koalisi baru ini didukung oleh Qatar, Arab Saudi, AS, Inggris, dan Prancis. Negara-negara tersebut selama ini memang sudah membiayai, mengirimi senjata, dan memfasilitasi kedatangan pasukan ‘jihad’ dari berbagai negara Arab dan Libya untuk membantu FSA, namun kini secara terbuka telah menyatakan akan mengirim bantuan senjata kepada koalisi baru tersebut. Jadi, meskipun ‘moderat’, koalisi baru ini tetap akan angkat senjata melawan rezim Assad. Kelompok-kelompok yang berhaluan Hizbut Tahrir (meski tidak mengatasnamakan diri Hizbut Tahrir, tetapi mendapat dukungan secara terbuka dari berbagai cabang HT di dunia, termasuk dari Indonesia), mengecam pembentukan koalisi baru tersebut. Kelompok ini, antara lain, Gabhat al Nousra, Ahrar Al Sham Kataeb, Liwaa al Tawhiid, dan Ahrar Souria memilih memisahkan diri dan mendeklarasikan perjuangan untuk membentuk khilafah di Syria. Meski ‘bercerai-berai’, kelompok oposisi Syria memiliki suara dan tekad yang sama: menumbangkan “rezim Assad yang sesat dan kafir”. Mereka pun selama ini saling membantu dalam menciptakan opini publik: betapa kejam dan brutalnya rezim Assad dalam membantai rakyatnya sendiri. Semua ini mengaburkan fakta yang sebenarnya terang benderang: AS dan Israel ingin menggulingkan rezim Assad dan menggantikannya dengan rezim yang mau ‘mengamankan’ Israel. Konflik Syria-Israel adalah catatan sejarah yang panjang yang kini coba diabaikan dan ditutupi oleh isu perjuangan jihad melawan kaum ‘Alawi yang kafir’ itu. AS dan sekutunya sebenarnya menggunakan skenario yang persis sama dengan Libya: dukung kelompok oposisi dengan persenjataan. Ketika pemerintah berusaha mengendalikan pemberontakan (lalu, apalagi yang harus dilakukan pemerintah menghadapi pemberontak? Apa yang harus dilakukan pemerintah Indonesia bila misalnya, tiba-tiba sekelompok gerilyawan di Jawa Barat angkat senjata dan ingin mengambil alih pemerintahan? Diam saja dan menyerahkan pemerintahan atas nama demokrasi?), kelompok oposisi pun berteriak meminta bantuan internasional (dengan nama indah: ‘humanitarian intervention’). Lalu, datanglah NATO membombardir Libya. Qaddafi tumbang, pemerintahan pun digantikan oleh tokoh-tokoh yang ‘lunak’ dan membiarkan semua proyek rekonstruksi dan eksplorasi minyak diambil oleh perusahaan-perusahaan Barat. Inilah yang sedang terjadi di Syria. Awalnya, sejak Januari 2011, rakyat Syria diseru via facebook dan twitter untuk turun ke jalan. Ada aksi demo, tapi sangat tidak signifikan, apalagi bila dibandingkan dengan aksi demo di Kairo. Lalu, terjadilah tragedi Daraa, kota kecil berpenduduk 75.000 jiwa yang dekat perbatasan Jordania. Jurnalis independen Prancis, Thierry Meyssan sejak awal mengendus pemilihan Daraa sebagai titik awal gerakan bersenjata kaum oposisi karena mudahnya suplai senjata dan milisi jihad dari Jordan. Demo di Daraa terjadi tanggal 23 Maret 2011. Jumlah yang tewas adalah 7 polisi dan sedikitnya 4 demonstran. Adanya data bahwa polisi tewas dalam demonstrasi itu sangat penting karena ini menunjukkan bahwa ada tembak-menembak antara polisi dan demonstran. Artinya, demonstrasi saat itu bukanlah demonstrasi damai seperti diklaim media massa Barat. Selain itu, pemberitaan media (salah satunya, Aljazeera) juga menunjukkan bahwa markas kantor Partai Baath dan kantor pengadilan juga dirusak massa. Demonstrasi damaikah ini? Berbeda dengan kondisi di Mesir dan Tunisia di mana aksi demo local memuncak menjadi demo nasional yang berpusat di ibu kota negara, justru menyusul tragedi di Daraa, muncul demo besar-besaran yang mendukung Assad. Demo itu terjadi di Damaskus, tanggal 26 Maret 2011. Kantor berita Reuters yang menyiarkan foto-fotonya, namun, tidak disebut-sebut dalam pemberitaan media-media mainstream. Televisi Syria menyiarkannya secara live. Rekaman aksi demo dengan jumlah massa yang sangat massif ini bisa didapatkan di You Tube. Selanjutnya terjadi aksi-aksi kerusuhan bersenjata di berbagai tempat, dengan korban di dua pihak, polisi dan massa. Tapi, tentu saja, yang disebarluaskan media massa dunia dan media massa Islam yang berafiliasi dengan organisasi ‘mujahidin’ adalah rezim Assad melakukan kebrutalan terhadap rakyat. Fakta yang ditemukan jurnalis-jurnalis independen sejak awal, terkait suplai senjata dan pasukan dari negara-negara Arab, diabaikan begitu saja. Temuan para blogger tentang rekayasa foto-foto dan film yang disebarkan media massa juga dianggap sepi, padahal semua begitu jelas: gambar demo di Tunisia disebut demo di Syria, gambar demo pendukung Assad, disebut demo anti-Assad, gedung hancur di Palestina disebut gedung yang hancur di Syria; orang tewas berdarah-darah di Palestina disebut korban pembunuhan Assad; serangan brutal yang dilakukan mujahidin diklaim sebagai serangan tentara Assad, dan banyak lagi. Dan tentu saja, sekali lagi, ketika pasukan mujahidin bersenjata sedemikian lengkap dan didukung pasukan jihad multinasional, lalu pemerintah melawan, pastilah ada korban di kedua pihak. Keduanya harus diekspos seimbang. Namun yang selalu diungkap oleh media mainstream dan yang berafiliasi dengannya adalah korban di pihak ‘mujahidin’. Untunglah, ada jurnalis-jurnalis independen dan citizen journalist yang dengan gigih melakukan pengimbangan berita. Para pengamat politik yang concern pada masalah Syria akan sepakat bahwa Rezim Assad berideologi sosialis dan haluan pemerintahannya sangat sekuler. Rezim Assad jauh sekali dari definisi ‘pemerintahan berhaluan Alawi’. Tapi karena ‘kebetulan’ dia dan kalangan elit pemerintahnya bermazhab Alawi, isu Sunni-Syiah dijadikan pretext jihad. Mengingat 80% rakyat Syria adalah Sunni, tentu logikanya, mereka sangat kuat. Data-data menunjukkan bahwa mayoritas anggota militer Syria adalah Sunni, meski elitnya Alawi. Bila mayoritas mereka memang membenci Assad, sangat mudah menumbangkannya, sebagaimana tumbangnya para diktator lain: Syah Reza Pahlevi, Ben Ali, Mubarak. Tak perlu ada pasukan asing yang didatangkan dari berbagai penjuru Arab; tak perlu mengemis bantuan senjata dari luar; tak perlu menyebarkan isu mazhab; tak perlu berkoalisi dengan AS yang jelas-jelas sekutu Israel. Dulu, Syah Pahlevi di Iran, kurang kuat apa secara militer? Militer Iran saat itu yang terkuat di Timteng, dilatih langsung oleh CIA dan MOSAD, dukungan besar pun diberikan Barat karena kilang-kilang minyak Iran saat itu dikuasai Inggris dan AS. Tapi karena mayoritas rakyat Iran, apapun mazhab dan agamanya, memang sudah muak, mereka bangkit tanpa senjata, hanya berdemo masif berpekan-pekan. Tentu saja, mereka ditembaki tentara Syah; tapi mereka tidak membalas dengan senjata, dan tidak pula minta bantuan asing. Akhirnya, Syah pun tumbang, hanya dengan aksi demo; sebagaimana juga Ben Ali dan Mubarak. Lalu bagaimana ujung dari konflik ini? Minimalnya ada dua hal yang bisa diprediksi: Seandainya Assad terguling dan kelompok jihad meraih kekuasaan, di antara mereka pun akan muncul peperangan karena perbedaan manhaj; di antara mereka sejak awal sudah ada perbedaan visi, model pemerintahan Islam seperti apa yang akan dibentuk? Sejak sekarang pun di antara mereka sudah saling kecam. AS sendiri sedang ketakutan melihat potensi berdirinya khilafah. Selain telah memasukkan Gabhat Al Nousra dalam daftar teroris, AS pun mulai berupaya terjun langsung ke medan perang. Thierry Meyssan melaporkan, AS tengah berencana mengirim 6000 pasukan jihad, termasuk 4000 orang dari Lebanon, lalu beberapa mantan jenderal angkatan bersenjata pemerintah akan mengklaim berhasil meraih kekuasaan dan meminta bantuan internasional. Hal ini, ditambah dengan isu penggunaan senjata kimia oleh Assad akan dijadikan pretext perang yang melibatkan NATO atau PBB. Para Budak Zionis Apapun yang akan terjadi ke depan, yang jelas, mayoritas rakyat Syria kini menderita. Syria, negeri yang indah dan disebut sebagai the craddle of civilization itu kini luluh lantak. Lebih setengah juta rakyat hidup menderita di pengungsian. Kaum perempuan Syria juga jadi korban perdagangan perempuan, dijual ke lelaki-lelaki hidung belang dari negara-negara Arab pendukung perang. Dan akar semua ini adalah ketidakmampuan sebagian elemen Syria mengidentifikasi siapa musuh mereka sebenarnya. Mereka merasa sedang berjuang, padahal sebenarnya sedang menari bersama iringan genderang musuh. (Sumber: http://www.theglobal-review.com/) Perang Suriah Jadi Objek Wisata Turis Israel Pertumpahan darah pihak pemberontak dengan tentara Suriah rupanya bisa menjadi obyek wisata. Buktinya, saat ini banyak turis asal Israel datang ke Dataran Tinggi Golan untuk melihat perang saudara itu dari perbatasan kedua negara. Surat kabar the Times of Israel melaporkan, Rabu (25/7), wisatawan itu datang dari pelbagai kota besar Israel, mulai dari Haifa, Tel Aviv, maupun Jericho. Mereka rata-rata berbekal teropong kecil atau kamera untuk menyaksikan pertempuran di Kota Jobata al-Khasab, kota perbatasan Suriah. Beberapa turis mengaku menikmati sensasi perang, misalnya mendengar suara ledakan atau desingan peluru dari jauh. Tidak hanya warga sipil Israel, Menteri Pertahanan Ehud Barak melakukan hal serupa. Dia memantau situasi negara tetangganya itu juga lewat salah satu bukit di Dataran Tinggi Golan. Gilanya lagi, adanya fenomena menonton langsung perang ini segera ditangkap oleh pengusaha di Negeri Zionis itu. Beberapa perusahaan wisata sudah merancang paket menonton perang Suriah dalam promo tur mereka. Sumber: http://www.sarkub.com/2012/konspirasi-jahat-wahabi-zionis-barat-di-suriah/

Perang Multi-Nasional Terhadap Rakyat Suriah

Bashar Assad, Presiden Suriah dalam wawancaranya dengan televisi Turki Ulusal dan surat kabar Aydinlik mengatakan, "Perang di Suriah bukan perang saudara, tapi perang pihak asing melawan Suriah yang ada hubungannya dengan disain regional." Presiden Assad menambahkan, "Perang ini tidak terjadi antarpengikut mazhab, tapi antara negara-negara pendukung Barat dan negara yang bersikukuh melawan Barat." Pemerintah dan media-media massa Barat sejak dua tahun lalu mempropagandakan bahwa perang yang terjadi di Suriah merupakan perang saudara untuk membebaskan rakyat Suriah dari diktator. Tapi perjuangan selama dua tahun yang ditunjukkan pemerintah dan rakyat Suriah menghadapi kelompok-kelompok bersenjata yang didukung negara-negara Barat dan sekutu Arabnya di kawasan. Mengenal siapa sebenarnya militan bersenjata dan pendukung mereka menunjukkan bahwa pada hakikatnya perang di Suriah merupakan perang Barat dan Arab terhadap pemerintah dan rakyat Suriah yang diwakili oleh kelompok-kelompok teroris itu. Tujuan perang ini untuk mengeluarkan Suriah dari negara yang berada di garis terdepan dalam menghadapi rezim Zionis Israel. Dari militan bersenjata yang ditangkap oleh militer Suriah ternyata berasal dari luar Suriah, bahkan sesuai dengan sejumlah laporan yang dirilis oleh sebagian media dan pusat-pusat penelitian menyebutkan keterlibatan pihak asing di Suriah. Hal ini menunjukkan bahwa militer Suriah tidak berperang dengan militerbersenjata yang berasal dari oposisi Suriah, tapi sedang menghadapi para teroris internasional. Aaron Y. Zelin, peneliti di Pusat Riset London dalam sebuah laporan mengumumkan bahwa dalam beberapa bulan lalu, lebih dari 600 teroris dari pelbagai negara Eropa telah berangkat ke Suriah. Zelin meyakini bahwa Suriah saat ini telah berubah menjadi satu negara penting bagi para teroris. Mohammad bin Saad al-Mofarrah, Sekjen Partai Islam Umma Arab Saudi yang menjadi pendukung kelompok teroris Jabhah al-Nusra di jejaring sosial bahkan mengkonfirmasikan keberadaan 12 ribu pasukan bersenjata dari negara-negara di sekitar Teluk Persia di Suriah yang siap bertempur untuk menggulingkan pemerintah Damaskus. Alexander K. Lukashevich, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Rusia dalam konferensi pers mingguannya mengatakan, "Suriah saat ini telah menjadi pusat yang menarik bagi para teroris dan ini sebuah realita yang sangat berbahaya. Pasca terbentuknya gerakan Kebangkitan Islam di negara-negara yang mengalami penindasan di Utara Afrika dan Timur Tengah, negara-negara Barat berusaha mengontrol gelombang Kebangkitan Islam ini di kedua kawasan. Mereka mengarahkan gerakan ini sesuai dengan kebijakan jangka panjang di kawasan strategis dunia ini. Di sini, Suriah memiliki posisi khusus dalam kebijakan Timur Tengah Amerika dan sekutu Eropanya. Turki dan rezim-rezim penindas Arab seperti Qatar dan Arab Saudi yang menjadi sekutu dekat Amerika dan Eropa di kawasan dimanfaatkan untuk mempercepat kebijakan ini. Suriah merupakan negara penting dan strategis di Timur Tengah. Negara-negara Barat selama beberapa dekade terakhir tidak mampu menggiring negara ini mengikuti kebijakan mereka. Pemerintah Suriah dengan memberikan tempat berlindung bagi para pengungsi dan pejuang Palestina serta Lebanon dan membantu mereka telah menjadi pusat perlawanan terhadap rezim Zionis Israel. Negara-negara Barat kemudian melihat memuncaknya gerakan Kebangkitan Islam sebagai kesempatan untuk menumbangkan pemerintah Suriah dan menguasai negara ini dengan alasan menuntut kebebasan. Tapi kelompok-kelompok politik yang menjadi oposisi pemerintah di dalam negeri sejak awal menegaskan bahwa tuntutan mereka akan dilakukan lewat dialog dan perundingan, bukan perjuangan bersenjata. Penekanan kelompok-kelompok oposisi Suriah ini berhasil menggagalkan strategi Barat dan Arab untuk menumbangkan pemerintah Damaskus. Itulah mengapa kelompok oposisi dalam negeri Suriah tidak banyak diekspos oleh media-media Barat dan Arab. Sebaliknya, negara dan media-media Barat bersama sekutu mereka di Timur Tengah berusaha keras memboikot oposisi dalam negeri Suriah baik di sektor politik dan media, sehingga seakan-akan mereka tidak pernah ada. Sementara pada saat yang sama, mereka berusaha mengumpulkan para oposan Suriah di luar negeri, memberikan dukungan politik dan finansial untuk menciptakan krisis di Suriah dan yang lebih penting memberi identitas baru sebagai oposan dalam negeri Suriah. Kelompok dan tokoh politik yang sekarang berusaha ditonjolkan oleh Barat dan Arab hingga dua tahun lalu atau kurang dari itu tidak pernah dikenal namanya di kalangan politik dan media. Mayoritas kelompok oposisi Suriah di luar negeri baru dibentuk pasca gerilya negara-negara Barat dan Arab menciptakan krisis dan ketidakamanan di Suriah. Baru setelah itu negara-negara Barat mulai mengumpulkan anasir-anasir dan para teroris dari negara-negara Afrika Utara, kawasan Teluk Persia dan Eropa untuk dikirim ke Suriah. Pemerintah Turki dan Yordania menjadi pusat pelatihan, mempersenjatai dan pengiriman kelompok-kelompok teroris ini ke dalam Suriah. Segala keruwetan di Suriah akhirnya di tambah oleh sebagian kelompok ekstrim Salafi dengan pemikiran yang kaku menjadi alat dan pelaksana kebijakan negara-negara Barat di kawasan. Pengiriman anggota mereka ke Suriah untuk memerangi tentara dan rakyat Suriah dan Al Qaeda berada di puncak kelompok-kelompok ini. Padahal semua tahu Al Qaeda menyebut Amerika sebagai musuh nomor satu Muslimin, tapi kini telah menjadi alat AS untuk merealisasikan tujuannyadi Timur Tengah. Sekalipun kelompok ekstrim Salafi mengumumkan bahwa mereka tidak membutuhkan Barat, tapi tetap saja mereka menerima bantuan sekutu Amerika di kawasan dan berlaku searah dengan kebijakan negara-negara Barat dan Israel. Sekalipun mereka mengatasnamakan Islam dan ingin menerapkan syariat Islam, tapi pada intinya mereka tidak memiliki akidah yang benar, sesuai dengan ajaran Islam. Terlebih lagi, yang menjadi sasaran mereka adalah rakyat tidak berdosa dan senjata yang mereka miliki berasal dari Barat dan Israel yang dibeli dengan uang Arab Saudi dan Qatar. Sebaliknya, pemikiran picik mereka telah merusak Islam yang sejati. Kelompok Salafi-Wahabi tidak pernah berpikir panjang untuk melakukan aksi teror dan kejahatan lainnya. Setiap daerah yang berhasil dikuasai mereka, maka setiap orang yang mendukung pemerintah akan dibunuh dengan cara yang mengenaskan. Tapi yang penting untuk dicermati adalah sikap diam media massa dan lembaga-lembaga pembela hak asasi manusia Barat. Di satu sisi mereka menyebut krisis yang tercipta di Suriah sebagai perang untuk meraih kebebasan dan dengan alasan ini mereka mencopot kursiSuriah di lembaga-lembaga regional seperti Liga Arab dan kedutaan besar negara ini diberikan kepada para militan bersenjata penentang pemerintah Suriah. Di sisi lain, mereka berusaha menutup kejahatan anti kemanusiaan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ini di Suriah, bahkan yang lebih buruk lagi adalah menisbatkan kejahatan ini kepada militer Suriah. Krisis yang diciptakan Barat di Suriah kembali menunjukkan bagaimana negara-negara Barat memanfaatkan demokrasi dan tuntutan kebebasan sebagai alat untuk memajukan strategi dan menjamin kepentingan mereka, khususnya di Timur Tengah. Apa yang terjadi di Suriah berhasil mengungkap substansi kelompok-kelompok Salafi dan yang berada di atasnya adalah Al Qaeda. Kelompok yang berteriak atas nama penerapan syariat Islam, tapi dalam prakteknya berlaku searah dengan kebijakan negara-negara Barat. Dengan demikian dapat dipahami bahwa ketika Barat, khususnya Amerika saat ingin berperang melawan terorisme dan kelompok teroris seperti Al Qaeda, berarti hanya alasan belaka untuk mengintervensi negara-negara Islam. Dan ketika ingin menerapkan kebijakan ekspansifnya, kelompok-kelompok ini juga yang dimanfaatkan. (IRIB Indonesia)