Selasa, 09 Juli 2013

Perang Multi-Nasional Terhadap Rakyat Suriah

Bashar Assad, Presiden Suriah dalam wawancaranya dengan televisi Turki Ulusal dan surat kabar Aydinlik mengatakan, "Perang di Suriah bukan perang saudara, tapi perang pihak asing melawan Suriah yang ada hubungannya dengan disain regional." Presiden Assad menambahkan, "Perang ini tidak terjadi antarpengikut mazhab, tapi antara negara-negara pendukung Barat dan negara yang bersikukuh melawan Barat." Pemerintah dan media-media massa Barat sejak dua tahun lalu mempropagandakan bahwa perang yang terjadi di Suriah merupakan perang saudara untuk membebaskan rakyat Suriah dari diktator. Tapi perjuangan selama dua tahun yang ditunjukkan pemerintah dan rakyat Suriah menghadapi kelompok-kelompok bersenjata yang didukung negara-negara Barat dan sekutu Arabnya di kawasan. Mengenal siapa sebenarnya militan bersenjata dan pendukung mereka menunjukkan bahwa pada hakikatnya perang di Suriah merupakan perang Barat dan Arab terhadap pemerintah dan rakyat Suriah yang diwakili oleh kelompok-kelompok teroris itu. Tujuan perang ini untuk mengeluarkan Suriah dari negara yang berada di garis terdepan dalam menghadapi rezim Zionis Israel. Dari militan bersenjata yang ditangkap oleh militer Suriah ternyata berasal dari luar Suriah, bahkan sesuai dengan sejumlah laporan yang dirilis oleh sebagian media dan pusat-pusat penelitian menyebutkan keterlibatan pihak asing di Suriah. Hal ini menunjukkan bahwa militer Suriah tidak berperang dengan militerbersenjata yang berasal dari oposisi Suriah, tapi sedang menghadapi para teroris internasional. Aaron Y. Zelin, peneliti di Pusat Riset London dalam sebuah laporan mengumumkan bahwa dalam beberapa bulan lalu, lebih dari 600 teroris dari pelbagai negara Eropa telah berangkat ke Suriah. Zelin meyakini bahwa Suriah saat ini telah berubah menjadi satu negara penting bagi para teroris. Mohammad bin Saad al-Mofarrah, Sekjen Partai Islam Umma Arab Saudi yang menjadi pendukung kelompok teroris Jabhah al-Nusra di jejaring sosial bahkan mengkonfirmasikan keberadaan 12 ribu pasukan bersenjata dari negara-negara di sekitar Teluk Persia di Suriah yang siap bertempur untuk menggulingkan pemerintah Damaskus. Alexander K. Lukashevich, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Rusia dalam konferensi pers mingguannya mengatakan, "Suriah saat ini telah menjadi pusat yang menarik bagi para teroris dan ini sebuah realita yang sangat berbahaya. Pasca terbentuknya gerakan Kebangkitan Islam di negara-negara yang mengalami penindasan di Utara Afrika dan Timur Tengah, negara-negara Barat berusaha mengontrol gelombang Kebangkitan Islam ini di kedua kawasan. Mereka mengarahkan gerakan ini sesuai dengan kebijakan jangka panjang di kawasan strategis dunia ini. Di sini, Suriah memiliki posisi khusus dalam kebijakan Timur Tengah Amerika dan sekutu Eropanya. Turki dan rezim-rezim penindas Arab seperti Qatar dan Arab Saudi yang menjadi sekutu dekat Amerika dan Eropa di kawasan dimanfaatkan untuk mempercepat kebijakan ini. Suriah merupakan negara penting dan strategis di Timur Tengah. Negara-negara Barat selama beberapa dekade terakhir tidak mampu menggiring negara ini mengikuti kebijakan mereka. Pemerintah Suriah dengan memberikan tempat berlindung bagi para pengungsi dan pejuang Palestina serta Lebanon dan membantu mereka telah menjadi pusat perlawanan terhadap rezim Zionis Israel. Negara-negara Barat kemudian melihat memuncaknya gerakan Kebangkitan Islam sebagai kesempatan untuk menumbangkan pemerintah Suriah dan menguasai negara ini dengan alasan menuntut kebebasan. Tapi kelompok-kelompok politik yang menjadi oposisi pemerintah di dalam negeri sejak awal menegaskan bahwa tuntutan mereka akan dilakukan lewat dialog dan perundingan, bukan perjuangan bersenjata. Penekanan kelompok-kelompok oposisi Suriah ini berhasil menggagalkan strategi Barat dan Arab untuk menumbangkan pemerintah Damaskus. Itulah mengapa kelompok oposisi dalam negeri Suriah tidak banyak diekspos oleh media-media Barat dan Arab. Sebaliknya, negara dan media-media Barat bersama sekutu mereka di Timur Tengah berusaha keras memboikot oposisi dalam negeri Suriah baik di sektor politik dan media, sehingga seakan-akan mereka tidak pernah ada. Sementara pada saat yang sama, mereka berusaha mengumpulkan para oposan Suriah di luar negeri, memberikan dukungan politik dan finansial untuk menciptakan krisis di Suriah dan yang lebih penting memberi identitas baru sebagai oposan dalam negeri Suriah. Kelompok dan tokoh politik yang sekarang berusaha ditonjolkan oleh Barat dan Arab hingga dua tahun lalu atau kurang dari itu tidak pernah dikenal namanya di kalangan politik dan media. Mayoritas kelompok oposisi Suriah di luar negeri baru dibentuk pasca gerilya negara-negara Barat dan Arab menciptakan krisis dan ketidakamanan di Suriah. Baru setelah itu negara-negara Barat mulai mengumpulkan anasir-anasir dan para teroris dari negara-negara Afrika Utara, kawasan Teluk Persia dan Eropa untuk dikirim ke Suriah. Pemerintah Turki dan Yordania menjadi pusat pelatihan, mempersenjatai dan pengiriman kelompok-kelompok teroris ini ke dalam Suriah. Segala keruwetan di Suriah akhirnya di tambah oleh sebagian kelompok ekstrim Salafi dengan pemikiran yang kaku menjadi alat dan pelaksana kebijakan negara-negara Barat di kawasan. Pengiriman anggota mereka ke Suriah untuk memerangi tentara dan rakyat Suriah dan Al Qaeda berada di puncak kelompok-kelompok ini. Padahal semua tahu Al Qaeda menyebut Amerika sebagai musuh nomor satu Muslimin, tapi kini telah menjadi alat AS untuk merealisasikan tujuannyadi Timur Tengah. Sekalipun kelompok ekstrim Salafi mengumumkan bahwa mereka tidak membutuhkan Barat, tapi tetap saja mereka menerima bantuan sekutu Amerika di kawasan dan berlaku searah dengan kebijakan negara-negara Barat dan Israel. Sekalipun mereka mengatasnamakan Islam dan ingin menerapkan syariat Islam, tapi pada intinya mereka tidak memiliki akidah yang benar, sesuai dengan ajaran Islam. Terlebih lagi, yang menjadi sasaran mereka adalah rakyat tidak berdosa dan senjata yang mereka miliki berasal dari Barat dan Israel yang dibeli dengan uang Arab Saudi dan Qatar. Sebaliknya, pemikiran picik mereka telah merusak Islam yang sejati. Kelompok Salafi-Wahabi tidak pernah berpikir panjang untuk melakukan aksi teror dan kejahatan lainnya. Setiap daerah yang berhasil dikuasai mereka, maka setiap orang yang mendukung pemerintah akan dibunuh dengan cara yang mengenaskan. Tapi yang penting untuk dicermati adalah sikap diam media massa dan lembaga-lembaga pembela hak asasi manusia Barat. Di satu sisi mereka menyebut krisis yang tercipta di Suriah sebagai perang untuk meraih kebebasan dan dengan alasan ini mereka mencopot kursiSuriah di lembaga-lembaga regional seperti Liga Arab dan kedutaan besar negara ini diberikan kepada para militan bersenjata penentang pemerintah Suriah. Di sisi lain, mereka berusaha menutup kejahatan anti kemanusiaan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ini di Suriah, bahkan yang lebih buruk lagi adalah menisbatkan kejahatan ini kepada militer Suriah. Krisis yang diciptakan Barat di Suriah kembali menunjukkan bagaimana negara-negara Barat memanfaatkan demokrasi dan tuntutan kebebasan sebagai alat untuk memajukan strategi dan menjamin kepentingan mereka, khususnya di Timur Tengah. Apa yang terjadi di Suriah berhasil mengungkap substansi kelompok-kelompok Salafi dan yang berada di atasnya adalah Al Qaeda. Kelompok yang berteriak atas nama penerapan syariat Islam, tapi dalam prakteknya berlaku searah dengan kebijakan negara-negara Barat. Dengan demikian dapat dipahami bahwa ketika Barat, khususnya Amerika saat ingin berperang melawan terorisme dan kelompok teroris seperti Al Qaeda, berarti hanya alasan belaka untuk mengintervensi negara-negara Islam. Dan ketika ingin menerapkan kebijakan ekspansifnya, kelompok-kelompok ini juga yang dimanfaatkan. (IRIB Indonesia)